Selasa, 09 Februari 2016

Tasawuf Irfani

A.    Pengertian Tasawuf Irfani
Secara etimologis, kata irfan merupakan kata jadian (masdhar) dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentifikasikan dengan ma’rifat sufistik. Orang yang ‘irfat/ makrifat kepada Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan). Ahli ‘irfan adalah yang bermakrifat kepada Allah. Terkadang kata itu diidentifikasikan dengan sifat-sifat inheren tertentu yang tampak pada diri seorang ‘arif (yang bermakrifat kemada Allah), dan menjadi hal baginya. Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi berkata, ‘Arif adalah seseorang yang memperoleh penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi hati tertentu (ahwal). ‘Irfan diperoleh seseorang melalui jalan al-idrak al-mubasyir al-wudjani (penangkapan langsung secara emosional), bukan penagkapan langsung secara rasional. Pembicaraan tentang ‘irfan atau makrifat dikalangan sufi dimulai sekitar abad III dan IV H. Tokoh sufi yang sangat menonjol membicarakannya adalah Dzu An-Nun Al-Mishri (w. 245 H/859M). Sementara Al-Ghazali diposisikan sebagai tokoh sufi yang pertama kali mendalaminya secara intens.
Sebagai sebuah ilmu, ‘irfan memiliki dua aspek yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah bagian menjelaskan hubungan dan penaggungjwaban manusia terhadap dirinya, dunia dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika. Bagian praktis ini juga di sebut syar wa suluk (perjalanan rohani). Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang penempuh rohani (salik) yang ingin mencapai tujuan puncak kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara berturutan, dan keadaan jiwa (hal) yang bakal dialami sepanjang perjalanannya tersebut.
Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, serta Tuhan alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah Illahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemnya. Namun, jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya. [[1]]
Di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.

B.     TOKOH-TOKOH TASAWWUF IRFANI [2]
1.      Rabi’ah Al-Adawiah 95 – 185 H
a.      Biografi
                 Nama lengkap Rabiah adalah rabi’ah binti Ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah         Al- Qaisiyah. Ia di perkirakan lahir pada tahun 95 H/ 713 M atau 99 H/717 M di suatu             perkampungan dekat kota bashrah [irak] dan waaft di kota itu pada tahun 185 H/801 M.ia dilahirkan sebagai puteri keempat adri keluarga yang sangat miskin.
     Konon katanya pada saat terjadinya bencana di bashrah eliau di larikan penjahat dan         di jual untuk bekerja kepada keluarga atik dari suku Qais Banu Adwah,tetapi akhirnya   rabi’ah di bebaskan lantaran tuanya meliat cahaya yang memancar di atas kepala rabiah dan menerangi seluruh ruangan rumah saat dia beribadah.
     Rabi’ah membuat kota kelahiranya menjadi harum , dimana ia di anggap sebagai    orang mulia dan di hormati oleh orang semasanya di kerenakan oleh gaya hidup yang   penuh dengan ibadah dan akhlaknya yang mulia, yang tidak mau membagi cintanya     dengan sebuah perkawinan.
b.      Ajaran Tasawuf : Mahabbah (cinta)
                 Dalam perkembangan mistisme dalam islam, rabi’ah Al-‘Adawiyah tercatat            sebagai peletak dasar  tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah.
     Aliran tasawuf (Mahabbah) kedudukanya sejajar dengan aliran-aliran tasawuf lainya          seperti ma’rifat(pengetahuan), al fana dan baqa’ (kehancuran dan ketetapan), dan al-         ittihad (persatuan) ataupun al-wujud(kesatuan wujud).
     Sikap dan pandangan Rabi’ah Al- Adawiyah tentang cinta dipahami dari kata-      katanya,baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al- Qusyairi           meriwayatkan bahawa ketika bermunajat, Rabi’at berdoa, “Tuhanku, akankah kau         bakar kalbu yang mencinta-Mu oleh api neraka ?” tiba-tiba terdengar suara “kami   tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada kami”. Salah             satu di antara syair Rabi’ah :
           “kujadikan kau teman berbincang dalam kalbu.
            Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku.
            Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu.
            Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku”

2.      Dzu An-Nun Al-Mishri [180 – 246 H ]
a.      Biografi
                 Dzu An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seseorang sufi yang tinggal         di sekitar pertengahan abad ketiga hijriyah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban            bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim,dataran tinggi Mesir, pada tahun 246 H/856             M.dan wafat pada tahun 246 H/856 M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya             berhubungan dengan berbagai kelebihan (kekeramatanya) yang diberi Allah SWT. 
b.      Ajaran Tasawuf
Ø  Makrifat
                                         Al-Mishri adalah pelopor paham makrifat. Dia          memperkenalkan konsep baru             tentang ma’rifah : dia membedakan   antara ma’rifah shufiyah dengan ma’rifah      ‘aqliyah. Ma’rifah shufiyah biasanya        digunakan oleh para sufi dengan pendekatan             qalbu. Ma’rifah ‘         aqliyah diguanakn oleh para teolog dengan pendekatan akal.      menurutnya, ma’rifah  sebenarnya adlah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati)      sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. teori-teorinya             tentang ma’rifat menyerupai gnosisme model Neo-Plantonik. Tori-toerinya ini        kemudian di anggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdah al-syuhud dan ittihad. Al- mishri juga di anggap sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur         falsafah dalam tasawuf.
*      Beberapa pandangan tentang hakikat makrifat:
1)      Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, tetapi yang dipercayai orang-orang mukmin ialah  makrifat[2] terhadap keemasan Tuhan yang khusus dimiliki para wali allah SWT. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah SWT. Dengan hatinya sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
2)      Makrifat yang sebenarnya adalah Allah SWT. Menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang murni, seperti matahari tidak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Salah seorang hamba yang senantiasa mendekat kepada Allah SWT. Merasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaanya. Ia merasa sebagai  hamba yang berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah SWT. Pada lidah mereka, ia melihat dengan penglihatan Allah SWT, dan berbuat dengan perbuatan Allah SWT.
                 Kedua pandangan Al-Misri ini menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah   SWT. Tidak dapat ditempuh melalui pendapatan akal dan pembuktian-pembuktian,      tetapi  dengan jalan ma’rifat batin, yaitu Tuhan menyinari hati manusia dan    menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada didunia ini tidak             mempunyai arti lagi.
     Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan (makfirat) menjadi tiga macam yaitu:        Ma’rifat seluruh muslim ma’rifat para teolog dan filosof ma’rifat para wali    Allah.
Ø  Maqamat dan Ahwal
                                         Pandangan Al- Misri tentang maqamat, dikemukakan pada beberapa          hal saja,             yaitu at-taubah, at-tawakal, dan ar-ridha.
     Menurut Al- Misri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khawas. Orang        awam bertobat kelalaian (dari mengingat Tuhan) Sedangkan tobat tersebut di bagi menjadi 3 tingkatan :
1)      Orang yang bertobat dari dosa dan keburukanya
2)       Orang yang bertobat dari kelalaian dari kealfaan mengingat Tuhan
3)       Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya 
3.      Abu Yazid Al-Bustami [874 – 974 M ]
a.      Biografi
                 Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan  Al-        Bustami, lahir di daerah Bustam (Persio) tahun  874-947 M. Nama kecilnya  Taifur. Keluarga  Abu Yazid termasuk keluarga yang berbeda di daerahnya, tetapi ia lebih        memilih hidup sederhana. Sejak dalaam kandugan ibunya, Abu Yazid telah             mempunyai keajaiban. Kata ibunya,bayinya yang dalam kandungannya akan          memberontak sampai muntah kalau sang ibu memakan makanan yang diragukan   kehalalannya.
     Ketika masa remaja, Abu Yazid terkenal  sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada kedua oragtuanya.   Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Lukman, ‘’Berterima kasihlah    kepada aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat mengetarkan hati Abu     Yazid. Ia  kemudian berhenti belajar dan pulang ke rumahnya untuk menemui ibunya.       Ini suatu gambaran tentang upayanya memenuhi setiap panggilan Allah SWT. 
                 Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan waktu puluhan       tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah   menjadi seorang faqih dari madzhab Hanafi, salah seorang gurunya             yang  terkenal  adalah Abu Ali As-sindi. Ia mengajarkan kepada Abu Yazid ilmu             tauhid, dan ilmu lainnya. Hanya, ajaran Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk             buku. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di    gurun-gurun pasir di Syam, hanya sedikit tidur , makan dan minum.
b.      Ajaran Tasawuf
Ø  Fana’ dan Baqa’
                                         Dari segi bahasa, fana’  berasal  dari kata faniya yang berarti            musnah atau             lenyap. Atau dalam bahasa inggris dissappear, perish,annihilate,       sehingga dapat di        pahami bahwa fana merupakan proses penghancuran diri bagi      seorang sufi agar dapat           bersatu dengan Tuhan. Adapun baqa’ berasal dari kata          baqiya, dari segi bahasa adalah           tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf ,             baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat     terpuji kepada Allah SWT. Paham baqa’ tidak           dapat dipisahkan dengan paham fana’.   Keduanya merupakan paham yang     berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami             fana’ ketika itu juga ia sedang            mengalami baqa’.

Ø  Ittihad
                                         Ittihad  adalah tahapan selanjutnya yang dialami       seseorang  sufi setelah             melalui tahapan   fana’  dan  baqa’ . Dalam    tahapan ittihad seorang sufi bersatu   dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang        dicintai menyatu, baik substansi         maupun perbuatannya. Karena yang dilihat dan             dirasakan hanya satu wujud,   dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang       mencintai dan yang dicintai, atau   tugasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam fana’-           nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya           dan pergi kehadirat Tuhan. Ia telah                       berada dekat pada Tuhan dapat dilihat          dari  syatahad yang             diucapkannya.  Syatahad  adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seoran sufi ketika        ia mulai berada dipintu gerbang ittihad.         
        
4.      Abu Manshur Al-Hallaj [855 – 922 M ]
a.      Biografi
                 Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin       Manshur          bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Tur, salah satu kota dekat        Baida,Persia, pada      tahun 244 H/855 M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16            tahun, ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl  bin       ‘Abdullah At- Tusturi di Ahwas. Dua tahun kemudian, ia pergi ke Basraah dan berguru    pada ‘Amr       Al-Makki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M. Ia masuk ke Bahdad dan     belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu, ia pergi mengembara dari satu negeri lain,            menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia diberi gelar Al-        hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.
                 Dalam semua perjalanan dan pengembaraanya ke berbagai kawasan islam, seperti khurasan, ahwas,india, turkistan,dan mekkah, dia telah memperoleh banyak    pengikut kemudian beliau kembali ke baghdad pada tahun 269 H/909 M.
     ucapan Al-Hallaj ana al-haqq, yang konon tidak bisa dimaafkan para ulama fiqh            dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk menangkap dan            memenjarakannya. Setahun kemudian, ia dapat meloloskan diri dari penjara berkat       pertolongan sopir penjara, tetapi empat tahun kemudian, ia tertangkap lagi di kota      Sus. Setelah dipenjara selama delapan tahun, Al-Hallaj dihukum gantung. Sebelum            digantung, ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu dipenggal   kepalanya. Sebelum dipancung ia meminta waktu untuk melaksanakan shalat dua          rakaat. Setelah selesai shalat, kaki dan tangannya dipotong, badannya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa       ke Khurasan untuk dipertontonkan. Al-Hallaj wafat pada tahun 922 M.
b.      Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
                           Ada 3 ajaran pokok tasawuf Al-Hallaj: Hulul, Haqiqah         Muhahammadiyah      dan Wahdah al-adyan. Menurut Al-Hallaj, Allah mempunyai      dua      sifat dasar        yaitu: Lahut (sifat ketuhanan) dan Nasut (sifat kemanusiaan)
     Diantara ajaran tasawuf yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy – syuhud      yang kemudian melahirkan paham widhad al-wujud (kesatuan wujud) yang di         kembangkan oleh Ibn ‘Arabi.
                             Menurut Al-Hullaj, bahwa pada hulul terkandung kefanaan total     kehendak  manusia dalam kehendak Ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah             kehendak Tuhan.  Demikian juga tindakannya. Al-hallaj, sebenarnya tidak         mengakui         dirinya Tuhan dan  juga tidak sama dengan Tuhan, seperti yang terlihat dalam             sya’irnya :
            “Aku adalah rahasia yang mahabenar dan bukanlah yang mahabesar itu aku,
            Aku hanya satu dari yang benar maka bedakanlah antara kami”.
     Dapat disimpulkan bahwa halul yang terjadi pada Al-hallaj tidaklah real karena      member pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan    demikian, halul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlangsung  pada       kondisi fana’, atau menurut ungkapannya, sekedar terlebarnya nasut dalam lahut,   atau  dapat dikatan antara keduanya menjadi anggur  meskipun keduanya telah             bercampur.






[1].Nurulhidayanih.2014.tasawufirfani(online).ttp://langitjinggadipelupukmatarumahmakalah.blogspot.co.id/2014/10/tasawuf-irfani-al-sulami-dan-al-hallaj.html.
[2].Indrakurniawan.2011.tokoh-tokohtasawufirfani(online).http://fdj indrakurniawan.blogspot.co.id/2011/05/makalah-tokoh-tokoh-tashawuf-irfani.html

1 komentar:

  1. What is a jackpot? | DrMCD
    What is a jackpot? 보령 출장안마 Casino. When a player places a wager on a single ticket, they are usually given 서산 출장샵 a 안산 출장샵 chance by a gambler. If 대전광역 출장샵 a player wins by 제주 출장마사지 having

    BalasHapus