A.
Pengertian Tasawuf Irfani
Secara etimologis, kata
irfan merupakan kata jadian (masdhar) dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan).
Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentifikasikan dengan ma’rifat sufistik.
Orang yang ‘irfat/ makrifat kepada Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah
melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan). Ahli ‘irfan adalah yang bermakrifat
kepada Allah. Terkadang kata itu diidentifikasikan dengan sifat-sifat inheren
tertentu yang tampak pada diri seorang ‘arif (yang bermakrifat kemada Allah),
dan menjadi hal baginya. Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi berkata, ‘Arif adalah
seseorang yang memperoleh penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak
kondisi-kondisi hati tertentu (ahwal). ‘Irfan diperoleh seseorang melalui jalan
al-idrak al-mubasyir al-wudjani (penangkapan langsung secara emosional), bukan
penagkapan langsung secara rasional. Pembicaraan tentang ‘irfan atau makrifat
dikalangan sufi dimulai sekitar abad III dan IV H. Tokoh sufi yang sangat
menonjol membicarakannya adalah Dzu An-Nun Al-Mishri (w. 245 H/859M). Sementara
Al-Ghazali diposisikan sebagai tokoh sufi yang pertama kali mendalaminya secara
intens.
Sebagai sebuah ilmu,
‘irfan memiliki dua aspek yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek
praktisnya adalah bagian menjelaskan hubungan dan penaggungjwaban manusia
terhadap dirinya, dunia dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai
etika. Bagian praktis ini juga di sebut syar wa suluk (perjalanan rohani).
Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang penempuh rohani (salik) yang ingin
mencapai tujuan puncak kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan,
menempuh tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara berturutan, dan keadaan
jiwa (hal) yang bakal dialami sepanjang perjalanannya tersebut.
Sementara itu, ‘irfan
teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan
manusia, serta Tuhan alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai
teosofi (falsafah Illahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti
halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemnya.
Namun, jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip
rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang kemudian
diterjemahkan dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya. [[1]]
Di samping ada tasawuf
yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan
perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang
mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf
irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia,
tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak
pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.
B.
TOKOH-TOKOH
TASAWWUF IRFANI [2]
1.
Rabi’ah
Al-Adawiah 95 – 185 H
a.
Biografi
Nama
lengkap Rabiah adalah rabi’ah binti Ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah Al- Qaisiyah. Ia di perkirakan lahir
pada tahun 95 H/ 713 M atau 99 H/717 M di suatu perkampungan dekat kota bashrah [irak] dan waaft di kota
itu pada tahun 185 H/801 M.ia dilahirkan
sebagai puteri keempat adri keluarga yang sangat miskin.
Konon
katanya pada saat terjadinya bencana di bashrah eliau di larikan penjahat dan di jual untuk bekerja kepada keluarga
atik dari suku Qais Banu Adwah,tetapi akhirnya rabi’ah
di bebaskan lantaran tuanya meliat cahaya yang memancar di atas kepala rabiah dan menerangi seluruh ruangan rumah saat
dia beribadah.
Rabi’ah
membuat kota kelahiranya menjadi harum , dimana ia di anggap sebagai orang mulia dan di hormati oleh orang
semasanya di kerenakan oleh gaya hidup yang penuh
dengan ibadah dan akhlaknya yang mulia, yang tidak mau membagi cintanya dengan sebuah perkawinan.
b.
Ajaran
Tasawuf : Mahabbah (cinta)
Dalam
perkembangan mistisme dalam islam, rabi’ah Al-‘Adawiyah tercatat sebagai peletak dasar tasawuf
berdasarkan cinta kepada Allah.
Aliran
tasawuf (Mahabbah) kedudukanya sejajar dengan aliran-aliran tasawuf lainya seperti ma’rifat(pengetahuan), al fana
dan baqa’ (kehancuran dan ketetapan), dan al- ittihad
(persatuan) ataupun al-wujud(kesatuan wujud).
Sikap
dan pandangan Rabi’ah Al- Adawiyah tentang cinta dipahami dari kata- katanya,baik yang langsung maupun yang
disandarkan kepadanya. Al- Qusyairi meriwayatkan
bahawa ketika bermunajat, Rabi’at berdoa, “Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang mencinta-Mu oleh api
neraka ?” tiba-tiba terdengar suara “kami tidak
akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada kami”. Salah satu di antara syair Rabi’ah :
“kujadikan
kau teman berbincang dalam kalbu.
Tubuhku
pun biar berbincang dengan temanku.
Dengan
temanku tubuhku bercengkrama selalu.
Dalam
kalbu terpancang selalu kekasih cintaku”
2.
Dzu
An-Nun Al-Mishri [180 – 246 H ]
a.
Biografi
Dzu
An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seseorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga
hijriyah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin
Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim,dataran tinggi Mesir, pada tahun 246 H/856 M.dan wafat pada tahun 246 H/856 M.
Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya berhubungan
dengan berbagai kelebihan (kekeramatanya) yang diberi Allah SWT.
b.
Ajaran
Tasawuf
Ø Makrifat
Al-Mishri adalah pelopor
paham makrifat. Dia memperkenalkan
konsep baru tentang ma’rifah :
dia membedakan antara ma’rifah shufiyah dengan ma’rifah ‘aqliyah.
Ma’rifah shufiyah biasanya digunakan
oleh para sufi dengan pendekatan qalbu. Ma’rifah ‘ aqliyah diguanakn
oleh para teolog dengan pendekatan akal. menurutnya, ma’rifah sebenarnya adlah musyahadah qalbiyah (penyaksian
hati) sebab ma’rifat merupakan fitrah
dalam hati manusia sejak azali. teori-teorinya tentang
ma’rifat menyerupai gnosisme model Neo-Plantonik. Tori-toerinya ini kemudian di anggap sebagai jembatan
menuju teori-teori wahdah al-syuhud dan ittihad.
Al- mishri juga di anggap sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf.
Beberapa
pandangan tentang hakikat makrifat:
1) Sesungguhnya makrifat yang hakiki
bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, tetapi yang dipercayai orang-orang mukmin
ialah makrifat[2]
terhadap keemasan Tuhan yang khusus dimiliki para wali allah SWT. Sebab, mereka
adalah orang yang menyaksikan Allah SWT. Dengan hatinya sehingga terbukalah
baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
2) Makrifat yang sebenarnya adalah
Allah SWT. Menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang murni, seperti matahari
tidak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Salah seorang hamba yang senantiasa
mendekat kepada Allah SWT. Merasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaanya. Ia
merasa sebagai hamba yang berbicara dengan ilmu yang telah
diletakkan Allah SWT. Pada lidah mereka, ia melihat dengan penglihatan Allah
SWT, dan berbuat dengan perbuatan Allah SWT.
Kedua
pandangan Al-Misri ini menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah SWT. Tidak dapat ditempuh melalui pendapatan
akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan
jalan ma’rifat batin, yaitu Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua
yang ada didunia ini tidak mempunyai
arti lagi.
Al-Mishri
membagi pengetahuan tentang Tuhan (makfirat) menjadi tiga macam yaitu: Ma’rifat seluruh muslim ma’rifat para
teolog dan filosof ma’rifat para wali Allah.
Ø Maqamat dan Ahwal
Pandangan Al- Misri
tentang maqamat, dikemukakan pada beberapa
hal saja, yaitu at-taubah, at-tawakal, dan ar-ridha.
Menurut
Al- Misri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khawas. Orang awam bertobat kelalaian (dari mengingat
Tuhan) Sedangkan tobat tersebut di bagi menjadi
3 tingkatan :
1) Orang yang bertobat dari dosa dan
keburukanya
2) Orang yang bertobat dari
kelalaian dari kealfaan mengingat Tuhan
3) Orang yang bertobat karena
memandang kebaikan dan ketaatannya
3.
Abu
Yazid Al-Bustami [874 – 974 M ]
a.
Biografi
Nama
lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan Al- Bustami, lahir di daerah Bustam (Persio)
tahun 874-947 M. Nama kecilnya Taifur. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga
yang berbeda di daerahnya, tetapi ia lebih memilih
hidup sederhana. Sejak dalaam kandugan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai keajaiban. Kata
ibunya,bayinya yang dalam kandungannya akan memberontak
sampai muntah kalau sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.
Ketika
masa remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan
seorang anak yang patuh mengikuti
perintah agama dan berbakti kepada kedua oragtuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Lukman, ‘’Berterima kasihlah kepada aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat
ini sangat mengetarkan hati Abu Yazid.
Ia kemudian berhenti belajar dan pulang ke rumahnya untuk menemui
ibunya. Ini suatu gambaran tentang
upayanya memenuhi setiap panggilan Allah SWT.
Perjalanan
Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai
seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi
seorang faqih dari madzhab Hanafi, salah seorang gurunya yang terkenal adalah
Abu Ali As-sindi. Ia mengajarkan kepada Abu Yazid ilmu tauhid, dan ilmu lainnya. Hanya, ajaran Abu Yazid tidak
ditemukan dalam bentuk buku. Dalam
menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya sedikit
tidur , makan dan minum.
b.
Ajaran
Tasawuf
Ø Fana’ dan Baqa’
Dari
segi bahasa, fana’ berasal dari
kata faniya yang
berarti musnah atau lenyap. Atau dalam bahasa inggris
dissappear, perish,annihilate, sehingga
dapat di pahami bahwa fana
merupakan proses penghancuran diri bagi seorang
sufi agar dapat bersatu dengan
Tuhan. Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya,
dari segi bahasa adalah tetap,
sedangkan berdasarkan istilah tasawuf , baqa’
berarti mendirikan sifat-sifat terpuji
kepada Allah SWT. Paham baqa’ tidak dapat
dipisahkan dengan paham fana’. Keduanya
merupakan paham yang berpasangan. Jika
seorang sufi sedang mengalami fana’
ketika itu juga ia sedang mengalami
baqa’.
Ø Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang
dialami seseorang sufi setelah
melalui tahapan fana’ dan baqa’ . Dalam tahapan ittihad seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Karena yang dilihat
dan dirasakan hanya satu
wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai, atau tugasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam fana’- nya,
Abu Yazid meninggalkan dirinya dan
pergi kehadirat Tuhan. Ia telah berada
dekat pada Tuhan dapat dilihat dari syatahad yang diucapkannya. Syatahad adalah
ucapan-ucapan yang dikeluarkan seoran
sufi ketika ia mulai berada dipintu
gerbang ittihad.
4.
Abu Manshur Al-Hallaj
[855 – 922 M ]
a.
Biografi
Nama
lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin
Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Tur, salah satu kota dekat Baida,Persia, pada tahun 244 H/855 M. Ia tumbuh dewasa di kota
Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun,
ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah
At- Tusturi di Ahwas. Dua tahun kemudian,
ia pergi ke Basraah dan berguru pada
‘Amr Al-Makki yang juga seorang
sufi, dan pada tahun 878 M. Ia masuk ke Bahdad dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu, ia pergi mengembara dari
satu negeri lain, menambah
pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia diberi gelar Al- hallaj karena penghidupannya yang
diperoleh dari memintal wol.
Dalam
semua perjalanan dan pengembaraanya ke berbagai kawasan islam, seperti khurasan, ahwas,india, turkistan,dan
mekkah, dia telah memperoleh banyak pengikut
kemudian beliau kembali ke baghdad pada tahun 269 H/909 M.
ucapan
Al-Hallaj “ana al-haqq”,
yang konon tidak bisa dimaafkan para ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan
untuk menangkap dan memenjarakannya. Setahun
kemudian, ia dapat meloloskan diri dari penjara berkat pertolongan sopir penjara, tetapi empat tahun kemudian, ia
tertangkap lagi di kota Sus. Setelah dipenjara
selama delapan tahun, Al-Hallaj dihukum gantung. Sebelum digantung, ia dicambuk seribu kali
tanpa mengaduh kesakitan, lalu dipenggal kepalanya.
Sebelum dipancung ia meminta waktu untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Setelah selesai shalat, kaki
dan tangannya dipotong, badannya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan
kepalanya dibawa ke Khurasan untuk
dipertontonkan. Al-Hallaj wafat pada tahun 922 M.
b.
Ajaran
Tasawuf Al-Hallaj
Ada
3 ajaran pokok tasawuf Al-Hallaj: Hulul, Haqiqah Muhahammadiyah dan
Wahdah al-adyan. Menurut Al-Hallaj, Allah mempunyai dua sifat dasar yaitu: Lahut (sifat ketuhanan) dan Nasut
(sifat kemanusiaan)
Diantara
ajaran tasawuf yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy – syuhud yang kemudian melahirkan paham widhad
al-wujud (kesatuan wujud) yang di kembangkan
oleh Ibn ‘Arabi.
Menurut
Al-Hullaj, bahwa pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam
kehendak Ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan. Demikian
juga tindakannya. Al-hallaj, sebenarnya tidak mengakui
dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan, seperti yang
terlihat dalam sya’irnya :
“Aku
adalah rahasia yang mahabenar dan bukanlah yang mahabesar itu aku,
Aku
hanya satu dari yang benar maka bedakanlah antara kami”.
Dapat
disimpulkan bahwa halul yang
terjadi pada Al-hallaj tidaklah real karena member
pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, halul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang
berlangsung pada kondisi fana’, atau menurut ungkapannya,
sekedar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatan antara keduanya menjadi anggur meskipun
keduanya telah bercampur.
[1].Nurulhidayanih.2014.tasawufirfani(online).ttp://langitjinggadipelupukmatarumahmakalah.blogspot.co.id/2014/10/tasawuf-irfani-al-sulami-dan-al-hallaj.html.
[2].Indrakurniawan.2011.tokoh-tokohtasawufirfani(online).http://fdj indrakurniawan.blogspot.co.id/2011/05/makalah-tokoh-tokoh-tashawuf-irfani.html